Jurnal Penelitian
PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA
YANG DIAJAR MENGGUNAKAN HYPNOTEACHING
DAN PENDEKATAN CTL PADA POKOK BAHASAN PECAHAN
DI KELAS VII SMP NEGERI 27 MEDAN TAHUN AJARAN 2011/2012
Oleh :
S U W A N T O
NIM. 071244110090
JURUSAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2012
PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA YANG DIAJAR
MENGGUNAKAN HYPNOTEACHING DAN CTL PADA POKOK BAHASAN PECAHAN DI KELAS VII SMP
NEGERI 27 MEDAN TAHUN AJARAN 2011/2012
Suwanto
Wamington Rajagukguk
ABSTRAK
Tujuan
Peneletian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa yang diajarkan dengan metode hypnoteaching dan pendekatan Contextual
Teaching and Learning (CTL) pada
pokok pembahasan penjumlahan dan pengurangan pecahan di kelas VII SMP Negeri 27
Medan tahun ajaran 2011/2012.
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sampel
dua kelas yaitu kelas VIII-4 sebagai kelas eksperimen Contextual Teaching and
Learning dan kelas VII-6 sebagai kelas eksperimen Hypnoteaching yang masing-masing berjumlah 37 dan 38 siswa. Penelitian ini menggunakan metode pembelajaran Hypnoteaching dan Pendekatan Contextual
Teaching and Learning. Instrumen yang digunakan untuk memperoleh
data adalah tes dan lembar observasi. Tes digunakan untuk mengetahui tingkat kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa. Tes yang digunakan dibagi menjadi dua tahap yaitu pre test
yang digunakan untuk mengetahui kemampuan awal siswa dan post test untuk
mengetahui perbedaan dari masing-masing kelas eksperimen. Sedangkan observasi
digunakan untuk melihat aktivitas siswa pada saat pembelajaran berlangsung baik
hypnoteaching maupun CTL.
Berdasarkan hasil penelitian pada tahap pre test
nilai rata-rata kelas eksperimen 1 49,54 lebih rendah dari pada nilai rata-rata
kelas ekperimen 2 56,31. Setelah dilakukan uji homogenitas pada data pre test
kedua kelas ekperimen dinyatakan kedua data tersebut homogen. Kemudian pada
tahap post test diperoleh nilai rata-rata kelas ekperimen 1 79,84 lebih tinggi
dari pada nilai rata-rata kelas ekperimen 2 74,25, dengan kata lain kedua kelas
mengalami peningkatan. Kemudian untuk mengetahui perbedaan dari kedua kelas
ekperimen maka dilakukan uji hipotesis dengan menggunakan uji t dan diperoleh thitung
= 2,384, sedangkan ttabel untuk taraf signifikan (α=0,05) dan dk =71 adalah 1,666, dengan kata lain thitung>ttabel
sehingga H1 diterima.Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan menggunakan hypnoteaching lebih tinggi dari pada
siswa yang diajarkan dengan menggunkan pendekatan CTL.
Dengan melihat kesimpulan penelitian ini, pada
saat pembelajaran, kita dapat menjadikan
metode hypnoteaching menjadi
pilihan utama jika dibandingkan dengan pendekatan CTL pada pokok bahasan
penjumlahan dan pengurangan bilangan
pecahan. Hal ini bertujuan agar proses pembelajaran lebih efektif dan tujuan
pembelajaran tercapai demi peningkatan prestasi siswa.
Kata Kunci : Kemampuan Pemecahan
Masalah Siswa, Pendekatan CTL, Hypnoteaching
I.
Pendahuluan
Saat ini, kita sering
menjumpai kondisi sekolah yang belum memenuhi kriteria yang memenuhi standar
nasional. Menurut data Kemdiknas tahun 2008 dalam
http://bataviase.co.id/node/627085 menjelaskan bahwa masih ada sekitar 161 ribu
bangunan sekolah rusak di seluruh Indonesia yang belum tertangani. Dari jumlah
itu, 45% di antaranya rusak berat dengan sudut kemiringan mendekati 90 derajat
alias hampir roboh. Keadaan gedung yang memprihatinkan ini merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi belajar hal ini dijelaskan oleh Slameto (2003:64)
dalam bukunya
“faktor sekolah yang mempengaruhi belajar ini
mencakup metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa
dengan siswa, disiplin sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran,
keadaan gedung dan tugas rumah”
Keadaan sekolah yang tidak
memadai, seperti kurangnya sistem pencahayaan, kondisi atap yang bocor, aroma
bau tak sedap dari kamar mandi dan lain-lain, tentu saja hal ini akan
mengganggu kenyaman siswa ketika belajar. Ketidaknyaman ini akan menyebabkan
siswa berkesulitan untuk berkonsentasi ketika belajar dan pada akhirnya akan
berdampak negatif pada hasil belajar mereka. Hal ini diperjelas oleh
Aunurrahman (2009:181) ”Kesulitan berkonsentrasi merupakan indikator adanya
masalah belajar yang dihadapi siswa, karena hal itu akan menjadi kendala dalam
mencapai hasil belajar yang diharapkan”
Dengan kondisi seperti ini,
bagaimana jika mereka dihadapkan dengan mata pelajaran yang membutuhkan
konsentrasi yang lebih, seperti mata pelajaran matematika, tentunya akan mempengaruhi pada keberhasialan
siswa di sekolah. Menurut Su Sie Han & Suse Herleni (dalam
http://www.carisuster.com/artikel) ”masalah ketidakberhasilan siswa di sekolah,
terutama dalam pelajaran yang memerlukan konsentrasi tinggi seperti matematika”.
Selain mata pelajaran yang membutuhkan konsentrasi yang tinggi matematika juga
merupakan pelajaran yang sulit sebagaimana diungkapkan oleh Abdurrahman
(2004:2) “Matematika merupakan bidang studi yang dianggap sulit untuk
dipelajari”. Makanya tidak heran siswa mengeluh ketika mengerjakan pekerjaan
rumah mereka dan berujung pada mencontoh pekerjaan temannya atau minta
dikerjakan oleh orang lain tanpa mau tahu cara mengerjakannya. Bukan hanya ini
saja faktor yang menyebabkan hasil belajar matematika siswa rendah masih banyak
lagi faktor yang lain.
Rendahnya tingkat kemampuan
pemecahan masalah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hasil belajar
matematika siswa rendah, karena matematika sangat erat kaitannya dengan tingkat
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Hal tersebut dijelaskan oleh
Tumadi (2008:29) “Problem solving (pemecahan masalah) dalam pembelajaran matematika
merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pembelajaran matematika”. Kemudian Loretta Ohnemus Omaha, Nebraska (dalam jurnalnya 2010:5)
menegaskan “Problem solving is an
essential part of mathematics, yet many students spend much of their
mathematics career copying and reproducing algorithms”. Yang artinya
pemecahan masalah adalah bagian yang terpenting dalam Matematika, tetapi masih
banyak pelajar yang mencontek dan memproduksi algoritma dalam pelajaran
matematika mereka.
Dengan demikian, kemampuan pemecahan masalah sangat
penting untuk dikuasai oleh siswa, hal senada juga dikemukakan oleh Parkey
(dalam Aunurrahman, 2009:107):
“menghadapai tantangan masa depan, siswa akan membutuhkan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai di sembilan area kunci yaitu ; (a)
kemampuan berbahasa, matematika dan sain, (b) keterampilan teknologi baru, (c)
kemampuan pemecahan masalah, pikiran kritis dan kreativitas, (d) kesadaran
social, keterampilan berkomunikasi dan membangun sinergis kelompok, (e)
kesadaran global dan keterampilan kenservasi, (f) pendidikan kesehatan dan
kesejahteraan, (g) orientasi moral dan etika, (h) kesadaran estetika, (i)
pendidikan seumur hidup untuk kemandirian belajar”
Tetapi hal ini bertolak belakang dengan yang diharapkan,
setelah dilakukan studi awal pada tanggal 2 Mei
2011 di SMP Negeri 27 Medan, Jln. Pancing Pasar IV, No 2 Medan, peneliti melakukan wawancara kepada
guru matematika yang bernama Dra. Mariyati dan memberikan soal yang berkaitan
dengan penjumlahan dan pengurangan pecahan kepada kelas VII2 yang
berjumlah 35 siswa. Hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah
siswa masih digolongkan sangat rendah, hal ini tampak dari jawaban dan nilai
mereka yang tidak melebihi dari angka 60 sebagai nilai KKM. Diyakini hal ini
terjadi karena sebagian besar siswa kesulitan memahami soal matematika dalam bentuk cerita, hal ini
dipaparkan oleh seorang guru matematika yang mengajar di SMP Negeri 27 Medan
saat diwawancarai “pemahaman siswa terhadap soal cerita, mereka perlu dibantu
untuk menentukan pemecahan masalah, tanpa bantuan sebagian besar kesulitan
menemukan pemecahan masalah sendiri”.
Pokok bahasan penjumlahan dan pengurangan bilangan
pecahan merupakan materi yang membingungkan dan memusingkan. ”saya kesusahan
mengerjakan soal penjumlahan dan pengurangan pecahan, abis membingungkan. Ada
pembilang ada penyebut, pusinglah bang!”. Inila keluhan Fahmi Idris seorang
siswa kelas VII2 SMP Negeri 27 Medan tentang materi pecahan. Menurut
Edy Pranoto dalam
http://duniabaca.com/wp-content/uploads/2011/03/referensi-skripsi-matematika.pdf
menekankan bahwa ”Matematika berangkat dari hal-hal yang abstrak sehingga sulit
diterima dan dipahami oleh siswa, termasuk di dalamnya pada sub pokok bahasan
pengerjaan operasi hitung pecahan.”
Berdasarkan masalah-masalah yang dihadapi siswa diatas
peniliti ingin mengatasi problema ini yaitu dengan cara mengganti metode
mengajar. Karena dengan menggunakan metode mengajar yang tepat akan berpangaruh
besar pada hasil belajar siswa. Sebagaimana diungkapkan oleh Slameto (2003:65)
mengungkapkan bahwa:
“Metode mengajar guru yang kurang baik diakibatkan karena guru
kurang persiapan dan kurang menguasai bahan pelajaran sehingga guru tersebut
menyajikannya tidak jelas atau sikap guru terhadap siswa atau mata pelajaran
itu sendiri tidak baik, sehingga siswa kurang senang terhadap pelajaran atau
gurunya, akibatnya siswa malas untuk belajar dan mencatat materi pelajaran yang
sedang dipelajari”.
Menurut H.W. Fowler dalam Masnur Muslich (2008:221) bahwa ”matematika merupakan mata pelajaran
yang bersifat abstrak sehingga dituntun kemampuan guru untuk mengupayakan
metode yang tepat sesuai dengan tingkat perkembangan mental siswa.”
Kenyataannya masih banyak model pembelajaran yang
digunakan guru cenderung monoton yang mengakibatkan siswa pasif. Sehingga siswa
merasa jenuh dan bosan yang menyebabkan pencapaian hasil belajar tidak optimal.
Hadi dalam (http://www.sman1-labakkang.com)
menyatakan bahwa:
”Beberapa hal yang menjadi ciri praktik pendidikan di Indonesia
selama ini adalah pembelajaran berpusat pada guru. Guru menyampaikan pelajaran
dengan menggunakan metode ceramah atau ekspositori sementara siswa mencatatnya
pada buku catatan.”
Kemudian dilanjutkan oleh Sobel dan Meletsky dalam dalam
Masnur Muslich (2008:221) mengemukakan
”Banyak sekali guru matematika yang menggunakan waktu pelajaran
dengan kegiatan membahas tugas-tugas lalu, memberi pelajaran baru, memberi
tugas kepada siswa. Pembelajaran seperti di atas rutin dilakukan hampir setiap
hari dapat dikategorian sebagai 3M, yaitu membosankan, membahayakan dan merusak
minat seluruh siswa”
Oleh karena itu, dalam penelitian ini metode yang akan
digunakan adalah motode Hypnoteaching dan pendekatan pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL). Disamping itu peneliti ingin mengetahui dari kedua cara penyampaian ini,
cara yang mana yang lebih baik atau efektif. Dilihat sekilas dari komponennya
atau dari segi karakteristiknya kedua metode ini hampir sama, hanya saja
penamaannya yang berbeda. Tetapi jika dikaji lebih dalam lagi ada hal yang
menarik yang membedakan kedua metode pembelajaran ini.
Metode Hypnoteaching ini merupakan
pengembangan dari teknik hipnosis. Menurut Novian (2010:5) Hipnosis adalah
suatu kondisi dimana perhatian menjadi sangat terpusat sehingga tingkat
sugestibilitas (daya terima saran) meningkat sangat tinggi. metode ini
menekankan pada kekuatan konsentrasi, kekuatan pikiran bawah sadar siswa dan
persepsi siswa terhadap matematika sehingga pembelajaran terasa mengasikkan
bagi siswa dan memudahkan guru untuk mentransfer informasi yang baru. Menurut
Aris Setyawan (dalam mudul seminarnya:2011) mengemukakan “Hypnoteaching adalah
sebuah metode pengajaran yang menggunakan bahasa-bahasa bawah sadar yang
menimbulkan segesti siswa untuk terkonsentrasi siswa secara penuh pada ilmu
yang disampaikan oleh guru”
Hipnoteaching yang merupakan perpaduan
antara pikiran sadar dan pikiran bawah sadar sehingga dapat mengoptimalkan
potensi yang ada dalam diri siswa. Metode pengajaran ini sangat mendukung
sekali dalam membimbing siswa untuk memecahkan masalah. Karena perpaduan antara
otak kanan dan otak kiri akan membuat sambungan-sambungan sinyal di dalam otak.
Andri saleh (2009:29) menyatakan bahwa semakin banyak jalur sambungan yang
dibuat, semakin besar pula kemampuan manusia untuk memecahkan masalah. Dari
penyataan ini bahwa metode pemelajaran hypnoteaching dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah siswa.
Sedangkan pendekatan Contextual Teaching
and Learning merupakan pembelajaran yang menekankan konsep-konsep materi ajar
berdasarkan hal-hal yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari siswa,
sehingga proses pembelajaran akan lebih berarti dan menyenangkan bagi siswa.
Trianto (2008:21) mengemukakan
“Pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebuah pendekatan pembelajaran
yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah dan pengetahuan. Melalui hubungan
di dalam dan di luar kelas, suatu pendekatan pembelajaran kontekstual
menjadikan pengalaman lebih relavan dan berarti bagi siswa dalam membangun
pengetahuan yang akan mereka terapkan
dalam pembelajaran seumur hidup”
Pendekatan yang mempunyai tujuh komponen
ini dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, hal ini sudah
dibuktikan dalam peneltian sebelumnya yang dilakukan oleh Turian Husagian
(053111355) dalam skripsinya. Selain itu inkuiri yang merupakan salah satu
komponen dari dari Contextual Teahcing
and Learning (CTL) mempunyai langkah-langkah sebagai berikut, yaitu: (a)
merumuskan masalah, (b) mengajukan hipotesis, (c) mengumpulkan data, (d)
menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan, dan (e) membuat kesimpulan
(Sanjaya, 2008:119). Langkah-langkah tersbut tidak jauh beda dengan
langkah-langkah pada kemampuan pemecahan masalah yang dikemukakan oleh
Aunurrahman (2009:108) yaitu (a) mengidentifikasi masalah, (b) memikirkan
alternative pemecahan, (c) memebandingkan alternative-alternatif pemecahan yang
mungkin akan dipilih, (d) menentukan pemecahan yang terbaik.
Tetapi disamping kelebihan-kelebihan di
atas ada beberapa kekurangan dari pendekatan CTL, Menurut Arif
Luqman Nadirin dalam http://nadhirin.blogspot.com/2010/03/ model - pembelajaran
-contextual-teaching. html menjelaskan
”Kekurangan dari metode Contextual Teaching and
Learning yaitu :
1. Guru lebih intensif dalam
membimbing. Karena dalam metode CTL. Guru tidak lagi berperan sebagai pusat
informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja
bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa
dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang
akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang
dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ”
penguasa ” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar
mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
2. Guru memberikan kesempatan kepada
siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide–ide dan mengajak siswa agar
dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi–strategi mereka sendiri
untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan
bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa
yang diterapkan semula.”
II.
Metode Penelitian
Populasi dalam penelitian ini
adalah semua siswa kelas VII semester ganjil SMP Negeri 27 Medan yang terdiri
dari 8 kelas dengan jumlah kelas seluruhnya 320 orang, yang mengikuti kegiatan
belajar mengajar penjumlahan dan pengurangan pecahan. Sampel yang diambil dalam
penelitian ini sebanyak dua kelas, sample penelitian ini ditentukan secara
sample random dari 8 kelas.
Jenis penelitian ini adalah
penelitian eksperimen semu, sebab semua kondisi siswa tidak dapat dikontrol
secara keseluruhan. Sample dalam penelitian ini dikelompokkan dalam dua
kelompok, kelas pertama sebagai kelas eksperimen pertama yang diajarkan dengan
metode pembelajaran hypnoteaching dan kelas kedua sebagai kelas eksperimen
kedua yang diajarkan dengan model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL).
Penelitian ini menggunakan dua
kelas sebagai subjek penelitian yang diambil dari populasinya secara acak.
Kelas pertama danamakan kelas eksperimen satu dan kelas kedua dinamakan dengan
kelas eksperimen kedua. Sebelum kedua kelas diberi perlakuan maka terlebih
dahulu kedua kelas diberikan tes (pre test). Terhadap kelas eksperimen petama
diberikan perlakuan dengan metode pembelajaran hypnoteaching dan kelas
eksperimen kedua diberikan perlakuan dengan model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning, dan waktu tertentu kedua kelompok diberikan tes (post
test)
Tabel 3.1 Tabel Rancangan Eksperimen
Kelas
|
Pre test
|
Perlakuan
|
Post test
|
Kelas eksperimen 1
|
Ta
|
X1
|
Tb
|
Kelas eksperimen 2
|
Ta
|
X2
|
Tb
|
Keterangan : Ta = Pemberian
pre test
X1 = Metode
Pembelajaran hypnoteaching
X2 = Model
Pembelajaran CTL
Tb = Pemberian
post test
Instrumen penelitian atau pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah berupa pre test dan post test. Pre test
diberikan kepada objek penelitian sebelum dilakukan perlakuan. Pre test
bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal siswa dan sebagai dasar untuk
pengelompokkan secara heterogen dalam pembelajaran.
Post test merupakan test yang diberikan kepada objek
penelitian setelah dilakukan perlakuan X1 dan X2. Post
test bertujuan untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematika objek
penelitian. Dalam penelitian ini bentuk soal pre test maupun post test adalah
essay sebanyak lima soal dan disusun sesuai dengan kurikulum dan tujuan
pengajaran yang telah ditentukan.
Sebelum diujikan kepada sample, peneliti terlebih dahulu
diujicobakan test untuk melihat validitas, reabilitas, tingkat kesukaran soal
dan daya pembeda soal. Soal
diujicobakan kepada kelas VII SMP 27 Medan. Selain itu Uji kevalitan soal.
Untuk menguji validitas item
soal, digunakan rumus korelasi product moment (Arikunto 2003:72) dengan rumus :
Untuk menafsirkan kebersihan harga validitas setiap soal maka
harga tesebut dikonsultasikan ke tabel harga kritik r product moment, dengan
kriteria rhitung > rtabel untuk taraf nyata dengan a = 0.05 maka korelasi tersebut dikatakan
valid.
Karena test yang digunakan
berbentuk uraian maka untuk mengetahui reabilitas test digunakan rumus Alpha. (Arikunto 2003:196) yaitu :
=
Untuk koefisien reabilitas
test selanjutnya dikonformasikan k rtabel product moment a = 0.05. jika rxy > rtabel, maka test dinyatakan
reliabilitas.
Adapun rumus untuk mencari
tingkat kesukaran soal adalah :
P = , (Arikunto
2003:208)
Untuk menentukan daya pembeda
masing-masing item test digunakan rumus (Arikunto 2003:213) yaitu :
D =
Dalam teknik analisis data,
data yang diperoleh dari masing-masing kelas terlebih dahulu dibuat dalam tabel
persiapan, temudian ditentukan nilai rata-rata hitung dan standar deviasi. Untuk
menentukan nilai rata-rata hitung dapat digunakan rumus =, sedangkan
deviasi dengan rumus :
Uji
normalitas diadakan untuk mengetahui normal atau tidaknya populasi penelitian
tiap variabel penelitian. Pengujian ini digunakan dengan uji liliefors.
Untuk
menguji kedua kelas homogen untuk itu dirumuskan hipotesis sebagai barikut.
H0 : ; H1 :
Rumus yang digunakan adalah Fh =
Dengan kriteria pengujian :
Jika Fhitung ³ Ftabel, maka H0
ditolak dan jika Fhitung < Ftabel, maka H0
diterima, dengan a = 0.05.
Hipotesis yang diuji (Sudjana,2002) adalah
H0
: m1=m2 : Tidak ada perbedaan kemampauan pemecahan
masalah siswa yang diajarkan menggunakan hypnoteaching
dengan kemampuan pemecahaan masalah siswa yang diajarkan menggunakan Contextual Teaching and Learning
Ha
: m1¹m2 Ada perbedaan kemampauan pemecahan masalah
siswa yang diajarkan menggunakan hypnoteaching
dengan kemampuan pemecahaan masalah siswa yang diajarkan menggunakan Contextual Teaching and Learning
Karena kedua data berasal dari
populasi yang sama atau homogen, dimana s12 = s22, maka untuk menguji hipotesis digunakan uji t
(Sudjana,2002) dengan rumus :
dengan
Kriterianya adalah H0 diterima jika thitung
< t(1-a) dan H0 ditolak jika thitung ³ t(1-a)
III.
Hasil
Penelitian dan Pembahasan
hasil perhitungan pre test dan
post test kemampuan pemecahan masalah matematika siswa di atas terlihat
perbedaan rata-rata pre test dan post test kelas eksperimen 1 dan kelas
eksperimen 2. Secara ringkas nilai rata-rata kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa kedua kelas baik pre test maupun post test dapat dilihat pada
Tabel 4.5 dan dalam bentuk diagram pada gambar 4.1 berikut.
Tabel
4.3 Rata-Rata Pre Test dan Post Test Siswa
Keterangan
|
Kelas Eksperimen 1
|
Kelas eksperimen 2
|
||
Pre test
|
Post test
|
Pre test
|
Post test
|
|
Jumlah nilai
|
1783.562
|
3033.766
|
2083.562
|
2598.701
|
Rata-rata
|
49.543
|
79.836
|
56.312
|
74.249
|
Gambar 4.1. Rata-Rata Pre Test dan Post Test Siswa
Secara deskriptif ada beberapa kesimpulan yang berkenaan
dengan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang dapat diungkap dari
Tabel 4.5 dan Gambar 4.1 di atas, yaitu :
a.
Rata-rata pre test kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa kelas eksperimen 1 (49.543) lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata pre test
kemampuan pemecagan masalah matematika siswa kelas eksperimen 2 (56.312) atau pre test kelas eksperimen
1 < pre test kelas eksperimen 2.
b.
Rata-rata post test kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa kelas eksperimen 1 (79.836) lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata post test
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas eksperimen 2 (74.249) atau post test kelas
eksperimen 1 > post test kelas eksperimen 2.
Selisih rata-rata pre test kemampuan pemecahan masalah
matematika antara kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 sebesar -6,7691 dan
selisih rata-rata post test kemampuan pemecahan masalah matematika siswa antara
kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 sebesar 5,5873.
Uji normalitas data pre test
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas eksperimen 1 diperoleh L0
(0,1207) < Ltabel (0,1477) dan data pre test kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa kelas eksperimen 2 diperoleh L0 (0,0916)
< Ltabel (0,1477). Sedangkan pada data post test kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
pada kelas eksperimen 1 diperoleh L0 (0,0534)z < Ltabel (0,1437)
dan data post test kemampuan pemecahan masalah matematika siswa di kelas
eksperimen 2 diperoleh L0 (0,1087) < Ltabel (0,1498).
Dengan demikian dapat disimpulkan data kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa yang diajarkan dengan menggunakan metode pembelajaran Contextual Teaching
and Learning dan metode pembelajaran Hypnoteaching baik data pre test maupun
data post test berdistribusi normal.
Pengujian
homogenitas data dilakukan untuk mengetahui apakah sampel yang digunakan dalam
penelitian berasal dari populasi yang homogen atau tidak, tujuannya apakah
sampel yang dipilih dapat mewakili seluruh populasi yang ada, dan uji ini
sebagai syarat keabsahan data untuk melakukan uji selanjutnya yaitu uji
hipotesis. Uji homogenitas hanya dilakukan pada kemampuan awal siswa yaitu pada
hasil pre test siswa, hal ini bertujuan untuk menyimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan kemampuan awal siswa atau dengan kata lain kemampuan awal di kedua
kelas sama.
Untuk
pengujian homogenitas digunakan uji kesamaan kedua varians yaitu uji F. Jika Fhitung
≥ Ftabel maka H0
ditolak dan jika Fhitung < Ftabel maka H0 diterima. Dengan derajat
kebebasan pembilang = (n1 – 1 ) dan derajat kebebasan penyebut = (n2
– 1 ) dengan taraf nyata α = 0,05. Berdasarkan perhitungan
maka di dapat Fhitung = 1,1834 sedang Ftabel untuk α = 0,05 dan dkpembilang =
36 dan dkpenyebut = 37 adalah 1,792.
sehingga diperoleh Fhitung<Ftabel maka H0 di terima. Ringkasan
hasil perhitungan uji homogenitas disajikan pada tabel berikut:
Kemuadian untuk mengetahui signifikansi kesimpulan di
atas perlu dilakukan perhitungan pengujian statistik. Untuk menguji perbedaan
rata-rata kedua kelas, digunakan uji t. Deskripsi hasil analisisnya disajikan
pada sub bab berikut ini.
Setelah kedua
kelas yaitu kelas ekperimen 1 dan kelas eksperimen 2 berdistribusi normal dan
homogen, maka dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan statistik uji t.
Dari pengujian hipotesis kemampuan pemecahan masalah matematika siswa diperoleh
thitung > ttabel, yaitu 2,384 > 1,666 maka H0
ditolak dan H1 diterima. Secara ringkas hasil pengujian hipotesis kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa disajikan pada Tabel 4.10 berikut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan
metode hypnoteaching berbeda dengan
rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diajarkan dengan
metode Contexual Teaching and Learning.
Dalam penelitian digunakan dua model pembelajaran yang
berbeda yaitu metode pembelajaran Hypnoteaching
dan model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning. Pembelajaran hypnoteaching
dilaksanakan di kelas VII-6 (kelas eksperimen 1), sedangkan pembelajaran Contextual
Teaching and Learning dilaksanakan di kelas VII-4 (kelas eksperimen 2) dan
masing-masing kelas terdiri dari 38 siswa untuk kelas eksperimen 1 dan 37 siswa
untuk kelas eksperimen 2.
Perbedaan model pembelajaran hypnoteaching dan Contextual
Teaching and Learning (CTL) yang paling mendasar adalah pembelajaran hypnoteaching lebih menekankan pada
kekuatan pikiran siswa atau konsentrasi siswa ketika belajar. Guru berusaha membangkitkan rasa ingin tahu
siswa dengan analogikan contoh materi yang diberikan yang dapat memicu memori
siswa. Untuk memusatkan
pikiran siswa agar berada dalam kondisi sugestif (mudah menerima saran,
masukan, informasi, dan pengetahuan), selama proses pembelajaran berlangsung
siswa diawasi lebih intensif melalui jam emosi. Hal yang bertujuan agar emosi
siswa berada dalam kondisi emosi yang sama. Kemudian pemberian reward yang diberikan kepada siswa yang
dapat menjawab pertanyaan dan tanggapan sedangkan penalty yang diberikan kepada siswa yang ribut atau mengganggu
temannya. Sedangkan pada pembelajaran
Contextual Teaching and Learning
(CTL) lebih menekankan pada pengalaman-penagalaman siswa, diharapkan dengan
pengalaman tersebut pembelajaran dalam kelas lebih berkesan dan bermakna bagi
siswa sehingga ingatan mereka tentang materi tersebut lebih lama melekat di
benak mereka. Pembelajaran ini berangkat dari hal-hal yang sangat erat
kaitannya dengan kehidupan sehari-hari mereka tujuan untuk memotivasi siswa
dalam mengikuti pembelaran.
Sebelum diberikan pembelajaran atau
tindakan yang berbeda kepada masing-masing kelas eksperimen, terlebih dahulu
dilakukan pre test (tes awal) untuk mengetahui kemampuan awal siswa dan sebagai
dasar dalam pembentukan kelompok belajar. Dari hasil penelitian diperoleh nilai
rata-rata pre test siswa kelas eksperimen I adalah 49,54 dan nilai rata-rata pre test siswa kelas
eksperimen II adalah 56,31. Berdasarkan nilai pre test
dilakukan pengujian normalitas dan homogenitas. Setelah dilakukan pengujian
ternyata kedua kelas berdistribusi normal dan homogen.
Setelah diketahui kemampuan awal siswa, kemudian dilakukan pembelajaran
dengan dua model pembelajaran yang berbeda. Selama kegiatan pembelajaran
berlangsung, dua orang observer mengamati keterlaksanaan model pembelajaran hypnoteaching dan pembelajaran Contextual Teaching and Learning dengan
sintaks pembelajarannya.
Setelah semua materi selesai diajarkan, siswa diberikan post test (tes
akhir) untuk mengetahui bagaimana hasil belajar siswa pada kedua kelas setelah
dilakukan perlakuan. Dari hasil penelitian diperoleh nilai rata-rata post test
kelas eksperimen I adalah 79,85 dan nilai rata-rata post
test kelas eksperimen II adalah 74,25.
Kemudian dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji-t. Setelah
dilakukan pengujian data ternyata diperoleh thitung > t tabel
atau 2,384>1,666 maka H0 ditolak dan Ha diterima.
Dengan demikian terdapat pebedaan pemecahan masalah matematika siswa yang
diajar dengan menggunakan Contextual
Teaching and Learning dan yang
diajar dengan hypnoteaching.
Hasil dari
pengujian hipotesis tentu saja berkaitan dengan perlakuan yang diberikan pada
kedua kelas. Pada kelas yang diajarkan dengan pembelajaran hypnoteaching para
siswanya lebih merasa happy dibanding
dengan pada kelas eksperimen Contextual
Teaching and Learning.. Pada kelas yang diajarkan dengan teknik Hypnoteaching, sebelum memulai memasuki
pelajaran, terlebih dahulu siswa diajak untuk relaks dengan memberi motivasi
dan kata – kata positif kepada siswa. Hal ini dimaksudkan agar siswa merasa
nyaman dan berada dalam keadaan sugestif yang siap belajar (mudah menerima
saran, masukan, informasi dan pengetahuan) yang menurunkan gelombang otak dari
beta ke alpha dimana materi pelajaran dapat dengan mudah masuk ke dalam pikiran
bawah sadar siswa yang akan mengoptimalkan daya serap, daya ingat selama proses
pembelajaran berlangsung. Dalam kegiatan pembelajaran guru lebih banyak
memberikan bimbingan dan arahan kepada siswa dalam memahami materi. Memberikan
contoh nyata yang menarik yang sering dialami oleh siswa agar siswa tetap fokus
dan merasa tertarik untuk mempelajarinya. Dengan analogi contoh tersebut guru
berusaha membangkitkan rasa keingintahuan siswa untuk mencari penyelesaian dari
contoh yang diberikan. Guru memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk
memberikan tanggapannnya. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung guru
menggunakan kata – kata positif berupa sugesti kepada siswa yang dapat menjadikan
siswa menjadi lebih percaya diri. Secara otomatis, hal itu memacu setiap siswa
untuk memberikan tanggapan/pertanyaannya, ini akan memicu memorinya untuk
memanggil informasi ke dalam memori pikirannya. Agar siswa tetap fokus, selama
kegiatan pembelajaran berlangsung digunakan jam emosi yang akan mengatur
kondisi kelas dan juga pemberian reward
dan penalty berupa pin kertas dengan
ekspresi senyum dan sedih yang akan direkatkan pada seragam siswa agar terlihat
oleh siswa yang lainnya dan akan dihitung pada akhir pembelajaran. Reward diberikan kepada siswa yang dapat
memberikan tanggapan dan menjawab soal/pertanyaan dari guru dan pada Lembar
Kerja Siswa. Penalty diberikan kepada
siswa yang ribut, mengganggu temannya, dan tidak memperhatikan penjelasan guru.
Jadi pemberian reward dan penalty
ini akan mendorong siswa untuk memperhatikan dan menanggapi penjelasan
guru. Siswa akan berusaha dan berlomba - lomba untuk memberikan tanggapan dan
menjawab pertanyaan agar mendapat reward terbanyak dan akan merasa malu
bila mendapat penalty. Sehingga siswa
aktif dan kegiatan pembelajaran berlangsung lebih optimal dan lebih hidup.
Sementara di kelas yang diajarkan menggunakan metode pembelajaran Contextual Teaching and Learning,
diawali dengan pertanyaan-pertanyan tentang
materi yang sedang diajarkan guna untuk memotivasi siswa, disamping itu
pertanyaan-pertanyaan ini berguna untuk menungkatkan rasa ingin tahuan siswa.
Dibantu dengan media pembelajaran berupa gambar-gambar pendukung materi
misalnya potongan kue. Gambar-gambar ini bertujuan untuk mengurangi
keabstrakkan siswa tentang materi pecahan. Kemudian siswa melakukan diskusi
(bekerja dalam kelompok), siswa dilatih untuk berkerja sama dan bertanggung
jawab terhadap tugas mereka dengan menampilkan jawaban atau mempresentasekan
jawaban kelompok. Dalam diskusi siswa bersama teman seusianya diharapkan siswa
dapat mengkontrus sendiri pemahamannya tentang konsep pecahan. Selanjutnya guru
membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami konsep pecahan, guru
meluruskan pemahaman-pemahaman yang salah dan mengarahkan siswa agar siswa
dapat mencapai tujuan belajar karena di kelas Contextual Teaching and Learning guru sebagai fasilitator dan
mengatur dan mengawasi jalannya proses pembelajaran berbeda dengan fungsi guru
di kelas hypnoteaching selain sebagai
fasilitator guru juga sebagai motivator bagi siswa. Kelemahan dari model ini adalah membutuhkan
waktu yang lama agar siswa benar-benar dapat memahami materi yang sedang mereka
pelajari. Selain itu siswa yang pemalu dan pendiam tidak terlalu aktiv dalam
pembelajaran.
Meskipun demikian, baik hypnoteaching maupun Contextual Teaching and Learning
ternyata sama-sama dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika di
kedua kelas tersebut pada materi peacahan. Dari rata-rata hasil belajar dan pengujian
beda rata-rata terbukti bahwa siswa yang diajar dengan menggunakan model
pembelajaran hypnoteaching memiliki kemampuan
pemecahan masalah yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang diajar
dengan menggunakan model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning.
|
IV. Kesimpulan Dan Saran
1. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian yang diperoleh dari analisis data diperoleh beberapa
kesimpulan, yaitu Pemecahan masalah matematika siswa pada materi penjumlahan
dan pengurangan pecahan yang diajar menggunakan pembelajaran hypnoteaching dan pendekatan
pembelajaran Contextual Teaching and Learning memiliki nilai rata-rata 79,836
dan 74,249. Secara statistik dengan menggunakan uji-t disimpulkan bahwa ada perbedaan kemampuan pemecahan masalah
siswa yang diajar dengan menggunakan hypnoteaching
dengan kemampuan pemecahan masalah siswa yang diajar menggunakan pendekatan
pembelajaran Contextual Teaching and
Learning.
2.
Saran
Berdasarkan
hasil penelitian ini maka saran yang dapat peneliti berikan adalah:
1.
Kepada
guru matematika dapat menjadikan metode pembelajaran hypnoteaching sebagai
pilihan pertama daripada pendekatan pembelajaran Contextual Teaching ang
Learning sebagai salah satu alternatif dalam memilih model pembelajaran yang
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
2.
Kepada
guru matematika yang ingin menerapkan model pembelajaran Contextual Teaching
and Learning sebaiknya dapat memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya agar
proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik.
3.
Kepada
calon peneliti berikutnya agar mengadakan penelitian yang sama dengan materi
ataupun tingkatan kelas yang berbeda sehingga hasil penelitian dapat berguna
bagi kemajuan pendidikan khususnya pendidikan matematika.
|
|
Astuti, Tri.2011.Pebandingan Metode Pembelajaran Konvensional dengan metode pembelajaran
hypnoteaching.tersedia : http://mediasugesti.
blogspot.com/2008/11/hypnoteaching-2.html
Aunurrahman.2009.Belajar dan Pembelajaran.Bandung:Alfabeta
Dewi, Kania Islami dan M Mega.2009.Aplikasi NLP dalam Pembelajaran.Bogor:
CV Regina.
Dewiyani.2011.Mengajarkan Pemecahan Masalah Dengan Menggunakan Langkah Polya.Tersedia:
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/ 122088796.pdf
Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan
Zaim.2006.Strategi Belajar Mengajar.Jakarta:
Rineka Cipta
Hakim, Andri.2010.Hypnosis In Teaching Cara Dahsyat Mendidik dan Mengajar.Jakarta:Visimedia.
Hamalik, Oemar.2010.Proses Belajar Mengajar.Jakarta:Bumi Aksara.
Hamid K, Abdul.2009.Teori Belajar dan Pembelajaran.Medan: Pascasarjana Universitas
Negeri Medan.
http://digilib.unnes.ac.id
Jaya, Novian Triwidia.2010.Hypnoteaching Bukan Sekedar Mengajar.Bekasi:
D-Brain
Kemendiknas.2008. Sekolah Rusak dan Gedung
Mewah DPR.jakarta tersedia : http://bataviase.co.id/node/627085
Muslich, Masnur.2008.KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Malang: Bumi
Aksara.
Nadirin, Arif Luqman.2010.Model Pembelajaran Contextual Teaching and
Learning.Jakarta. Tersedia : http://nadhirin.blogspot.com/2010/03/ model - pembelajaran
-contextual-teaching.
Nebraska danLoretta Ohnemus
Omaha.2010.Journal writing to Learn
problem solving. Lincoln:Department
of Mathematics University of Nebraska
Nuharini, Dewi dan Tri Wahyuni.2008.Matematika Konsep dan Aplikasi untuk kelas VII SMP dan MTs Jakarta:
Pusat Pembukuan Departemen Pendidikan Nasional
Pranoto, Edy.2011. Meningkatkan hasil belajar siswa Sub pokok
bahasan operasi bilangan pecahan Dengan menggunakan kartu pecahan pada Siswa
kelas III Mi Miftahul Huda desa Jatisono Kecamatan gajah kabupaten Demak Tahun
ajaran 2004/ 2005.Universitas
Negeri Semarang
Saleh Andri.2009.Seni Mengajarkan Matematika Berbasis Kecerdasan Majemuk. Bogor:
Regina.
Sanjaya, Wina.2008.Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi.Jakarta:
Prenada Media Group.
Santoso, Haris Budi.2011.jurnal : Menciptakan Daya Magnetis Widyaiswara Dengan
Pembelajaran Hypnoteaching.Denpasar: Kementrian Agama Denpasar.
Shadiq, Fajar.2004.Pemecahan
Masalah, Penalaran dan Komunikasi.Yogyakarta tersedia : http://p4tkmatematika.org/downloads/sma/pemecahanmasalah.
pdf
Sie, Su dan Suse Herleni.2008.Pengaruh Aktivitas Jasmani Terhadap
Kemampuan Matematika Anak. Tersedia :
http//www.carisuster.com/artikel/7-inspired-kids/37-pengaruh-aktivitas-jasmani-terhadap-kemampuan-kemampuan-matamatika-anak
Situmorang, Manihar.2009. Pedoman
Penulisan Proposal dan Skripsi Mahasiswa Program Studi Pendidikan FMIPA UNIMED.Medan:FMIPA
UNIMED
Supradiarini, Irene dkk.2008.Pegangan
Belajar Matematika untuk SMP/MTs Kelas VII 1.Jakarta: Pusat Pembukuan
Departemen Pendidikan Nasional
Suyadi.2010.Panduan Penelitian Tindakan Kelas.Jogjakarta: DIVA Press
Trianto.2008.Mendesain
Pemebelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) di Kelas.Jakarta:Cerdas
Pustaka Publisher.
Turmudi.2008.Landasan Filsafat
dan Teori Pembelajaran Matematika.Jakarta: Leuser Cita Pustaka.
Uno, Hamzah B.2010.Model
Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang kreatif dan efektif.Jakarta:
Bumi Aksara
Wardhani, Sri.2011. Bagaimana
Mengelolah Pembelajaran Pemecahan Masalah (problem solving) Matematika.tersedia:
http://docs.google.com/viewer?
url=https%3A%2F%2Fdocs.google.com%2Fuc%3Fexport%3Ddownload%26id%3D0B4YIxzzEvxGYTI3MDA3NzktNzI5Yi00M2I3LThlODUtOWEyZDNjYTU5OGUz
Wintarti, Atik, dkk.2008.Contextual
Teaching and Learning Matematika Sekolah Menengah Pertama Kelas VII Edisi4
Jakarta: Pusat Pembukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Yoni, Acep dan Sri Rahayu Yunus.2011.Begini Cara Menjadi Guru Inspiratif dan Disenangi Siswa.Yogyakarta:Pustaka
Widyatama.
Yus, Anita, dkk. 2010. Psikologi Pendidikan.Medan:Fakultas Ilmu
Pendidikan UNIMED.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar